Contoh makalah landasan pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Secara faktual,
kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk
manusia. Oleh karena itu pembicaraan tentang pendidikan tidak pernah lepas dari
unsure manusia. Dari beberapa pendapat tentang pendidikan yang dikemukakan oleh
para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau
diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi manusia ke arah yang
positif.
Pendidikan,
pada dasarnya adalah proses kumunikasi yang didalamnya mengandung transformasi
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar
sekolah yang berlangsung sepanjang hayat (life long process), dan generasi ke
generasi.
Pendidikan
sebagai gejala manusiawi dan sekaligus usaha sadar, didalamnya tidak lepas dari
keterbatsan-keterbatasan yang dapat melekat pada peserta didik, pendidik,
interaksi pendidik, serta pada lingkungan dan sarana pendidikan.
Berdasarkan
uraian diatas, penyusun membatasi ruang lingkup pembahasan pada pendidik/guru.
Guru merupakan pelaku utama dalam pendidikan, selain peserta didik. Pendidik
(Guru) yang baik adalah yang memiliki kemampuan atau kompotensi yang bisa
diberikan kepada anak didik. Pendidik merupakan sosok yang memiliki kedudukan
yang sangat penting bagi pengembangan segenap potensi peserta didik. Ia menjadi
orang yang paling menentukan dalam perancangan dan penyiapan proses pendidikan
dan pembelajarana di kelas, paling menentukan dalam pengaturan kelas dan
pengendalian siswa, pun pula dalam penilaian hasil pendidikan dan pembelajaran
yang dicapai siswa.
Seseorang yang
menginginkan menjadi pendidik maka ia dipersyaratkan mempunyai kriteria yang
diinginkan oleh dunia pendidikan. Tidak semua orang bisa menjadi pendidik kalau
yang bersangkutan tidak bisa menunjukkan bukti dengan criteria yang ditetapkan.
Dalam hal ini oleh Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995)
syarat seorang pendidik adalah :
(1) mempunya perasaan terpanggil sebagai tugas suci,
(2) mencintai dan mengasih-sayangi peserta didik,
(3) mempunyai
rasa tanggung jawab yang didasari penuh akan tugasnya. Ketiga persyaratan
tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Orang
terasa terpanggil untuk mendidik maka ia mencintai peserta didiknya dan
memiliki perasaan wajib dalam melaksanakan tugasnya disertai dengan dedikasi
yang tinggi atau bertanggungjawab. Menurut mereka juga bahwa kompetensi yang
harus dimiliki oleh seorang guru adalah :
a Kompetensi
profesional
b Kompetensi
personal
c Kompetensi
sosial
Namun untuk
konteks Indonesia, dewasa ini telah dirumuskan syarat kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru menurut UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Pada pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa kompetensi guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Guru yang baik
adalah guru yang bisa menguasai ke empat kompetensi diatas. Dewasa ini banyak
kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam upaya mencari sosok guru yang baik dan
memiliki kemampuan yang berkompoten. Akan tetapi, pembahasan kali ini hanya
membahas tentang “ usaha memperbaiki kualitas guru dengan mengoptimalkan
kompotensi pedagogic dan kompetensi kepribadian “.
Saat
ini manusia Indonesia mengalami pergeseran dalam aspek moralitas. Di
era globalisasi dan reformasi seperti sekarang ini kita semua dapat merasakan
bersama, bahwa kebebasan berpendapat dan berperilaku sudah sedemikan maraknya,
karena terlalu bebas serta fulgarnya dalam tampilan dan pemberitaan itu,
sampai-sampai banyak kalangan pemuda yang tidak memperhatikan lagi moralitas,
sopan santun, etika dan budi pekerti sebagaimana adat ketimuran yang kita
agungkan itu. Media elektronik berupa televisi, maupun media cetak yang kita
saksikan dan kita baca tiap hari, baik yang menampilkan kritikan kontruktif
maupun pertunjukan hiburan yang mengumbar kemaksiatan sudah sedemikian marak
dan bebasnya di masyarakat. Hal ini secara langsung akan dapat mempengaruhi
moral dan tingkah laku para pemirsa atau pembaca, lebih-lebih para remaja yang
belum memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat.
Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan penting dalam mengatasi persoalan moralitas yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis berusaha untuk mengungkap bagaimana peran pendidikan dalam persoalan moralitas.
Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan penting dalam mengatasi persoalan moralitas yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis berusaha untuk mengungkap bagaimana peran pendidikan dalam persoalan moralitas.
B. RUMUSAN MASALAH
1) Mengemukakan tentang arti pendidikan dan mendidik menurut
para ahli
2) Memaparkan landasan pendidikan .
3)
Memaparkan tujuan
pendidikan.
4)
Menjelaskan apa
itu kompetensi dan kompetensi apa yang dimiliki guru.
5)
Bagaimana upaya
memgoptimalkan kualitas guru dengan mengoptimalkan kompetensi pedagogik dan
kompetensi profesional.
6)
Bagaimana pendidikan mengatasi persoalan moralitas
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Pendidikan
1.
Landasan
Filosofis
Landasan
filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat
pendidikan, misalnya apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu diperlukan,
dan apa tujuan pendidikan itu. Pembahasan mengenai semua ini berkaitan dengan
pandangan filosofis tertentu. Filsafat menelaah sesuatu secara radikal sampai
seakar-akarnya, menyeluruh dan konseptual, yang menghasilkan konsep-konsep
mengenai kehidupan dan dunia. Landasan filosofis terhadap pendidikan dikaji
terutama melalui filsafat pendidikan, yang mengkaji pendidikan dari sudut
filsafat. Misalnya mungkinkah pendidikan diberikan kepada manusia, apakah
pendidikan bukan merupakan keharusan, mengapa? Kemungkinan pendidikan diberikan
kepada manusia bahkan harus diberikan, berkaitan dengan pandangan mengenai
hakikat manusia. Bahasan mengenai hakikat manusia itu, dapat dijawab melalui
kajian filosofis. Pendidikan itu mungkin diberikan dan bahkan harus, karena
manusia adalah makhluk individualitas, makhluk sosialitas, makhluk moralitas,
makhluk personalitas, makhluk budaya, dan makhluk yang belum jadi.
Essensialisme, perenialisme, pragmatisme, progresivisme, rekonstruksionalisme,
dan pancasila adalah merupakan aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi
pandangan, konsep dan praktik pendidikan yaitu :
a. Essensialisme
Essensialisme merupakan aliran atau
mazab pendidikan yang menerapkan filsafat idealisme dan realisme secara
eklektis. Mazab ini mengutamakan gagasan-gagasan yang terpilih, yang pokok-pokok,
yang hakiki ( essensial ), yaitu liberal arts. Yang termasuk the liberal arts
adalah bahasa, gramatika, kesusasteraan, filsafat, ilmu kealaman, meatematika,
sejarah dan seni.
b. Perenialisme
Perenialisme
hampir sama dengan essensialisme, tetapi lebih menekankan pada keabadian atau
ketetapan atau kehikmatan ( perennial = konstan ). Yang abadi adalah
(1)
pengetahuan yang benar,
(2)
keindahan, dan
(3) kecintaan kepada kebaikan.
Prinsip-prinsip pendidikannya:
a. pendidikan yang abadi,
b. inti pendidikan mengembangkan keunikan manusiayaitu
kemampuan berfikir,
c. tujuan belajar mengenalkan kebenaran
abadi dan universal,
d. pendidikan merupakan persiapan
bagi hidup yang sebenarnya,
kebenaran abadi diajarkan melalui
pelajaran dasar, yang mencakup bahasa, matematika, logika, IPA dan sejarah.
c. Pragmatisme dan Progresivisme
Pragmatisme
mazab filsafat yang menekankan pada manfaat atau kegunaan praktis.
Progredivisme mazab filsafat yang menginginkan kemajuan, mengkritik, essensialisme
dan perenialisme karena mengutamakan pewarisan budaya masa lalu, menggunakan
prinsip pendidikan antara lain
(1) anak
hendaknya diberi kebebasan,
(2)
gunakan pengalaman langsung,
(3) guru
bukan satu-satunya,
(4)
sekolah hendaknya progresif menjadi laboratorium untuk
melakukan berbagai pembaharuan pendidikan
dan eksperimentasi.
5) Rekonstruksionisme
Mazab rekonstruksionisame merupakan
kelanjutan dari progresivisme.
Mazab ini berpandangan bahwa
pendidikan/ sekolah hendaknya memelopori melakukan pembaharuan kembali atau
merekonstruksi kembali masyarakat agar menjadi lebih baik. Karena itu
pendidikan/sekolah harus mengembangkan ideologi kemasyarakatan yang demokratis.
5) Pancasila Bahwa pancasila merupakan mazab filsafat tersendiri yang dijadikan
landasan pendidikan, bagi bangsa Indonesia dituangkan dalam Undang-undang
pendidikan yang berlaku. UU No. 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas (akan segera
diubah ) mengaturnya dalam pasal 2, pendidikan nasional berdasarkan pancasila
dan UUD 1945. Demikian pula dalam GBHN-GBHN yang pernah dan sedang berlaku,
biasa ditetapkan dasar pendidikan pancasila ini.
2. Landasan
Sosiologis
Pada
bagian depan telah dikemukakan bahwa manusia selalu hidup bersama dengan
mwnusia lain. Kajian-kajian sosiologis telah dikemukakan pada waktu membahas
hakikat masyarakat. Masyarakat dengan berbagai karakteristik sosiokultural
inilah yang juga dijadikan landasan bagi kegiatan pendidikan pada suatu
masyarakat tertentu. Bagi bangsa Indonesia, kondisi sosiokultural bercirikan
dua, yaitu secara horisontal ditandai oleh kesatuan-kesatuan sosial sesuai
dengan suku, agama adat istiadat dan kedaerahan. Secara vertikal ditandai oleh
adanya perbedaan-perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah dan
bawah. Fenomina-fenomina sosial dan struktur sosial yang ada pada masyarakat
Indonesia sangat berkaitan dengan pendidikan sebagaimana telah diuraikan di
muka.
3. Landasan
Kultural
Saling
pengaruh antara pendidikan dengan kebudayaan juga telah dikemukakan ketika
membahas kaitan kebudayaan dengan pendidikan. Kebudayaan tertentu diciptakan
oleh orang di masyarakat tertentu tersebut atau dihadirkan dan diambil oper
oleh masyarakat tersebut dan diwariskan melalui belajar/pengalaman terhadap
generasi berikutnya. Kebudayaan seperti halnya sistem sosial di masyarakat
meruoakan kondisi esensial bagi perkembangan dan kehidupan orang.
Proses dan
isi pendidikan akan memberi bentuk kepribadian yang tumbuh dan pribadi-pribadi
inilah yang akan menjadi pendukung, pewaris, dan penerus kebudayaan, secara
ringkas adalah
(1) kebudayaan menjadi kondisi
belajar,
(2) kebudayaan memiliki daya dorong,
daya rangsang adanya respon- respon tertentu,
(3) kebudayaan memiliki sistem
ganjaran dan hukuman terhadap perilaku
tertentu sejalan dengan sistem nilai yang berlaku, dan
(4) adanya pengulangan pola perilaku
tertentu dalam kebudayaan. Tanpa
pendidikan budaya dan manakala pendidikan budaya tersebut terjadi
tetapi gagal, yang kita saksikan adalah kematian atau berakhirnya suatu
kebudayaan.
4. Landasan
Psikologis
Pendidikan
selalu terkait dengan aspek kejiwaan manusia, sehingga pendidikan juga
menggunakan landasan psikologis, bahkan menjadi landasan yang sangat penting,
karena yang digarap oleh pendidikan hampir selalu berkaitan dengan aspek
kejiwaan manusia. Ketika membahas hakikat manusiapun ada pandangan-pandangan
psikologik, seperti behaviorisme, humanisme dan psikologi terdapat cukup
banyak. Contoh, tipe-tipe manusia yang dikemukakan oleh Eduard Spranger, ia
menyebut ada enam tipe manusia, yaitu manusia tipe teori, tipe ekonomi, tipe
keindahan ( seni ), tipe sosial, tipe politik dan tipe religius. Model-model
belajar juga dikemukakan oleh para psikolog seperti Skinner, Watson, dan
Thorndike. Bahwa manusia mempunyai macam-macam kebutuhan dikemukakan misalnya
oleh Maslow. Perkembangan peserta didik dengan tugas-tugas perkembangan terkait
dengan pola pendidikan. Sifat-sifat kepribadian dengan tipe-tipenya
masing-masing, juga terkait dengan pendidikan. Karakteristik jiwa manusia Indonesia
bisa jadi berbeda dengan bangsa Amerika ( Barat ), maka pendidikan menggunakan
landasan psikologis.
5. Landasan
Ilmiah dan Teknologi serta Seni
Pendidikan
dan IPTEKS mempunyai kaitan yang sangat erat, karena IPTEKS merupakan salah
satu bagian dari sisi pengajaran, jadi pendidikan sangat penting dalam rangka
pewarisan atau tranmisi IPTEKS, sementara pendidikan itu sendiri juga
menggunakan IPTEKS sebagai media pendidikan. IPTEKS yang selalu berkembang
dengan pesat harus diikuti terus oleh pendidikan, sebab kalau tidak maka
pendidikan menjadi sangat ketinggalan dengan IPTEKS yang sudah berkembang di
masyarakat. Cara-cara memperoleh dan mengembangkan ilmu (epistemologi ) dibahas
dalam pendidikan, hingga pemanfaatan ilmu bagi umat manusia, kaitan ilmu dengan
moral, politik, dan sosial menjadi tugas pendidikan.
Pendidikan
diselenggarakan berdasarkan filsafat hidup serta berlandaskan sosiokultural
setiap masyarakat, termasuk di Indonesia. Kajian ketiga landasan itu (filsafat,
sosiologis dan kultural) akan membekali setiap tenaga kependidikan dengan
wawasan dan pengetahuan yang tepat tentang bidang tugasnya.
Selanjutnya,
ada dua landasan lain yang selalu erat kaitannya dalam setiap upaya pendidikan,
utamanya pengajaran, yakni landasan psikologis yang akan membekali tenaga
kependidikan dengan pemahaman perkembangan peserta didik dan cara-cara
belajarnya, dan landasan IPTEK yang akan membekali tenaga kependidikan tentang
sumber bahan ajaran.
Landasan
Filosofis
Merupakan
landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat pendidikan, yang berusaha
menelaah masalah-masalah pokok seperti; Apakah pendidikan itu, mengapa
pendidikan itu diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya, dsb. Landasan
filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat (falsafat,
falsafah). Ada 4 mahzab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya dalam
pemikiran dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat mahzab filsafat pendidikan
(Redja Mudyahardjo, et.al., 1992 : 144 – 150; Wayan Ardhana, 1986 : 14-18)
adalah:
a. Esensialisme
Merupakan
mahzab filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme
secara eklektis. Mahzab esensialisme mulai lebih dominan di Eropa sejak adanya
semacam pertentangan diantara para pendidik sehingga mulai timbul pemisahan
antara pelajaran–pelajaran teoritik (Liberal Arts) yang memerdekakan akal
dengan pelajaran-pelajaran praktek (Practical Arts). Menurut mahzab ini, yang
termasuk “The Liberal Arts”, yaitu:
1) Penguasaan bahasa termasuk retorika.
2) Gramatika.
3) Kesusasteraan.
4) Filsafat.
5) Ilmu Kealaman.
6) Matematika.
7) Sejarah.
8) Seni Keindahan (Fine Arts).
Aliran atau mahzab tersebut dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah formal adalah adanya penetapan berbagai
mata pelajaran yang disajikan atau dituangkan dalam kurikulum sekolah. Namaun
demikian hal tersebut tidak berarti memisahkan antar mata pelajaran tetapi
semuanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pembagian dalam berbagai
mata pelajaran tersebut dapat memudahkan dan membantu siswa untuk mempelajari
dan memahami tahap demi tahap, yang pada akhirnya menyeluruh (holistik). Karena
semua mata pelajaran tersebut diperlukan oleh manusia dalam menjalani
kehidupannya sebagai makhluk sosial.
- Perenialisme
Ada
persamaan antara perenialisme dan esensialisme, yakni keduanya membela
kurikulum tradisional yang berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok
(subject centered). Perbedaannya ialah pernialisme menekankan keabadian teori
kehikmatan, yaitu:
1) Pengetahuan yang benar (truth).
2) Keindahan (beauty).
3) Kecintaan kepada kebaikan
(goodness).
Juga
sebaliknya kurikulum bersifat wajib dan berlaku umum, yang harus mencakup:
1) Bahasa.
2) Matematika.
3) Logika.
4) Ilmu Pengetahuan Alam.
5) Sejarah.
Dalam
mahzab atau aliran ini menggambarkan pendidikan menekankan pentingnya penanaman
nilai kebenaran, keindahan, kebaikan. Hal ini juga sesuai dengan relaitas
kehidupan manusia yang di dalam dirinya selalu condong kepada kebaikan dan
kebenaran yang bisa diterima oleh masyarakat umum. Jika hal tersebut tidak
tampak dalam penyelenggaraan pendidikan maka akan tidak bisa diterima dan menimbulkan
pro dan kontra.
- Pragmatisme dan Progresivisme
Pragmatisme
merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai
dari segi nilai kegunaan praktis.
Penerapan
konsep pragmatisme secara eksperimental melalui 5 tahap, yaitu:
1) Situasi tak tentu.
2) Diagnosis.
3) Hipotesis.
4) Pengujian Hipotesis.
5) Evaluasi.
Progresivisme
(gerakan pendidikan progresif) mengembangkan teori pendidikan yang mendasarkan
diri pada beberapa prinsip, antara lain :
Anak harus
bebas untuk dapat berkembang secara wajar.
Pengalaman
langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang minat belajar.
Guru harus
menjadi seorang peneliti dan pembimbing kegiatan belajar.
Sekolah
progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk melakukan reformasi
pedagosis dan eksperimentasi.
Aliran ini
pada hakekatnya mengajarkan kepada pendidik dan penyelenggara pendidikan untuk
mendidik bagaimana berpikir kritis, sistematis, ilmiah dan mampu menguji
kebenaran dalam ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah. Karena kebenaran yang
ada itu bisa bersifat relatif bahkan bisa menjadi salah jika ditemukan teori
yang baru.
Pancasila
sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pasal 2
UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa Pendidikan Nasional bedasarkan
Pancasila dan UUD 45. Sedangkan Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1987 tetang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menegaskan bahwa Pancasila itu adalah
jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup
bangsa Indonesia dan dasar negar Republik Indonesia.
P4 atau
Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan Pancasiladalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang pendidikan . Perlu ditegaskan bahw
Pengamalan Pancasila itu haruslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima
sila dalam Pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 ,
yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Buku I Bahan Penataran P4 dikemukakan bahwa Ketetapan MPR RI No.
11/MPR/1989 tersebut diatas memberi petunjuk-petunjuk nyata dan jelas wujud
pengamalan kelima sila dari Pancasila.
Landasan Sosioligis
a. Pengertian tentan Landasan
Sosiologis
Sosiologi pendidian merupakan
analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam
sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan
meliputi 4 bidang, yaitu:
1)Hubungan sistem pendidikan dengan
aspek masyarakat lain.
2)Hubungan kemanusiaan di sekolah.
3)Pengaruh sekolah pada perilaku
anggotanya.
4)Sekolah dalam komunitas.
Kajian sosiologi tentang pendidikan
pada prinsipnya mencakup semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun
pendidikan diluar sekolah. Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya
pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah mengalami banyak perubahan. Sebagai
masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik baik secara horizontal
maupun vertikal masih dapat ditemukan, demikian pula halnya dengan sifat-sifat
dasar dari zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya.
Namun dengan niat politik yang kuat
menjadi suatu masyarakat Indonesia serta dengan kemajuan dalam berbagai bidang
pembagunan, utamanya dalam bidang pendidikan politik, maka sisi ketunggalan
dari “Bhineka Tunggal Ika” makin mencuat. Berbagai upaya yang dilakukan, baik
melalui kegiatan jalur sekolah (misalnya dengan mata pelajaran pendidikan moral
Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dll) maupun jalur pendidikan
luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 non penataran, dll) telah mulai
menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh. Berbagai
upaya tersebut dilaksanakan dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang
kemajemukan masyrakat Indonesia.
Landasan Kultural
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai
hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat dilestarikan / dikembangkan
dengan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus dengan
jalan pendidikan, baik secara informal maupun secara formal. Sebaliknya bentuk
ciri-ciri dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan oleh kebudayaan
masyarakat dimana proses pendidikan itu berlangsung.
a. Pengertian tentang Landasan
Kultural
Pendidikan tidak hanya berfungsi
untuk menstranmisi kebudayaan kepada generasi penerus, tetapi pendidikan juga
berfungsi untuk menstranformasikan kebudayaan agar sesuai dengan perkembangan
dan tujuan zaman. Dengan kata lain, sekolah secara seimbang melaksanakan fungsi
ganda pendidikan , yakni sebagai proses sosialisasi dan sebagai agen pembaruan.
Dalam bidang pendidikan, kedua fungsi tersebut kadang-kadang dipertentangkan,
antara penganut pendidikan sebagai pelestarian (teashing a conserving
activity).
b. Kebudayaan Nasional sebagai
Landasan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Sistem pendidikan nasional adalah
pendidkan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia (UU RI No. 2/1978)
pasal 1 ayat 2. Karena masyarakat Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu
adalah masyarakat yang majemuk, maka kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih
tepat disebut sebagai Kebudayaan Nusantara yang beragam. Puncak-puncak
kebudayaan Nusantara itu dan yang diterima sacara nasional disebut kebudayaan
nasional. Oleh karena itu, kebudayaan nasional haruslah dipandang dalam latar
perkembangan yang dinamis seiring dengan semakin kukuhnya persatuan dan
kesatuan bangsa indonesia sesuai dengan asas bhineka tunggal ika.
Landasan Psikologis
Pendidikan selalu melibatkan aspek
kejiwaanmanusia, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan
yang penting dalam pendidikan. Pada umumnya landasan psikologis dri pendidikan
tersebut terutama tertuju pada pemahaman manusia, khususnya tentang proses
perkembangan dan proses belajar.
a. Pengertian tentang Landasan
Psikologis
Hasil kajian dan penemuan psikologis
sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, misalnya pengetahuan
tentang setiap aspek, dan konsep tentang cara-cara paling cepat untuk
mengembangkannya. Untuk maksud itu psikologi menyediakan sejumlah informasi
tenang kehidupan pribadi manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang
berkaitan dengan aspek pribadi.
b. Perkembangan Peserta Didik
sebagai Landasan Psikologis
Peserta didik selalu berada dalam
proses perubahan, baik karena pertumbuhan maupunkarena perkembangan.
Pertumbuhan terutama karena pngaruh faktor internal sebagai akibat kematangan
dan proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama karena pengaruh
lingkungan.
Landasan Ilmiah dan Teknologis
Pendidikan serta ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek) mempunyai kaitan yang sangat erat. Pendidikan berperan
sangat pentingdalam pewarisan dan pengembangan iptek. Setiap perkembangan iptek
harus segera diakomodasi oleh pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil
pengembangan iptek itu ke dalam isi bahan ajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat
dipengaruhi oleh sejumlah cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu perilaku
(psikologi, sosiologi, antropologi).
a. Pengertian tentang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pengetahuan (Knowledge) adalah
segala sesuatu yang diperoleh melalui berbagai cara penginderaan terhadap
fakta, penalaran (rasio), intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang memenuhi kriteria
dari segi ontologis, epistomologis dan aksiologis secara konsekuen dan penuh
disiplin biasa disebut ilmu atau ilmu pengetahuan (science); kata sifatnya
ilmiah atau keilmuan, sedangkan ahlinya disebut ilmuwan. Dengan demikian,
pengetahuan meliputi berbagai cabang ilmu (ilmu sosial/social sciences dan
ilmu-ilmu alam/natural sciences), humaniora (seni, fisafat , bahasa, dsb). Oleh
karena itu, istilah ilmu atau ilmu pengetahuan itu dapat bermakna kumpulan
informasi, cara memperoleh informasi serta manfaat daari informasi itu.
b. Perkembangan Iptek sebagai
landasan Ilmiah
Pengembangan dan pemanfaatan iptek
pada umumnya ditempuh rangkaian kegiatan : Penelitian dasar, penelitian
terapan, pengembangan teknologi dan penerapan teknologi, serta biasanya diikuti
pula dengan evaluasi ethis-politis-religius.
Kemampuan maupun sikap ilmiah sedini
mungkin harus dikembangkan dalam diri peserta didik. Pembentukan keterampilan
dansikap ilmiah sedini mungkin tersebut secara serentak akan meletakkan dasar
terbentuknya masyarakat yang sadar akan iptek dan calon-calon pakar iptek kelak
kemudian hari.
B. Landasan hukum
Tiap-tiap negara memiliki peraturan perundang-undagan
sendiri. Semua tindakan yang di lakukan di negara itu di dasarkan pada
perundang-undangan tersebut. Bila ada suatu tindakan yang bertendangan dengan
peraturan perundang-undanga itu, maka di katakan tindakan itu melanggar hukum.
Dan orang bersangkutan patut di adilih. Oleh sebab itu, tindakan di katakan
benar bila sejalan atau sesuai dengan hukum yang berlaku di negara persekutuan.
Negara republik indonesia mempunyai berbagai peraturan
perundang-undangan yang bertingkat, mulai dengan undang-undang dasar 1945,
undang-undang, peraturan pemerintah, ketetapan, samapai dengan surat keputusan
, semuanya mengandung hukum yang tertinggi. Sementara itu peraturan
perundang-undang dasar 1945.
Bab ini akan membahas acara berturut-turut pengertian
landasan hukum, pendidikan menurut undang-undangan dasar 1945, undang-undang RI
No. 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, beberapa peraturan pemerintah
tentang pendidikan dan GBHN 1993 , dan dampak konsep pendidikan. [1][1]
1. Pengertian Landasan Hukum
Kata landasan dalam hukum berarti
melandasi atau mendasari atau titik tolak . landasan hukum seorang guru boleh
mengajar misalnya, adalah surat keputusan tentang pengangkatannya sebagai guru
.
Hukum atau aturan baku di atas, tidak
selalu di dalam bentuk tertulis. Dari uraian di atas di dapatkan di pahami
makna kata landasan hukum yang sedang di bahas ini.
Kegiata pendidikan yang di landasi oleh
hukum, antara lain adalah calon siswa SD tidak harus lulusan TK , masyarakat
harus membantu pembiaya’an pendidikan, pendidikan menengah mempersiapkan para
siswa untuk masuk perguruan tinggi dan menjadi anggota masyarakat dalam membina
pendidikan, dan sebagainya.
2. Pendidikan menurut
undang-undang dasar 1945
Undang-undang
dasar 1945 adalah merupakan hukum tertinggi di indonesia . semua peraturan
undang-undangan yang lain harus tunduk atau tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dasar ini sangat sederhana .
Pasal-pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam
undang-undang dasar 1945 hanya 2 pasal, yaitu pasal 31 ayat 1 pasal 32. Yang
satu menceritakan tentang pendidikan dan yang satu menceritakan tentang
kebudayaan.
Pasal
31 ayat 1 berbunyi: tiap-tiap warga berhak mendapatkan pengajaran . dan ayat 2
pasal ini berbunyi : pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional , yang di atur dengan undang-undang.
Pasal
32 pada undang-undang dasar itu berbunyi: pemerintah memajukan kebudaya’an
nasional indonesia. Mengapa pasal ini juga berhubungan dengan pendidikan? Sebab
pendidikan adalah bagian dari kebudaya’an.
Kebudaya’an
dan pendidikan adalah dua ungsur yang saling mendukung satu sama lain. Sudah di
katakan di atas, bila pendidikan maju maka kebudaya’an juga akan maju . karena
kebudaya’an yang banyak aspeknya akan mendukung progam dan melaksana’an
pendidikan. Dengan demikian upaya memajukan pendidikan.[2][2]
3. Undang-undang RI
nomor 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional
Di
antara peraturan perundang-undangan RI yang paling banyak membicarakan
pendidikan adalah undang-undang RI nomor 2 tahun 1989. Undang-undang ini
mengatur pendidikan pada umumnya , artinya segala suauatu bertalian dengan
pendidikan , mulai dari prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi di tentukan
dalam undang-undang ini.
Tidak
semua pasal akan di bahas dalam buku ini, yang di bahas adalah pasal-pasal
penting terutama yang membutuhkan penjelasan lebih mendalam, pertama-tama
adalah pasal 1 ayat 2 dan ayat 7.ayat 2 berbunyi sebagai berikut: pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudaya’an bangsa indonesia,
Selanjutnya
pasal 1 ayat 7 berbunyi: tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dalam penyelenggarakan pendidakan. Menurut ayat ini yang
berhak mendapat pendidikan. Menurut ini yang berhak menjadi tenaga pendidikan
adalah setiap anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya yang kependidikan .
Hal
lain yang perlu di beri penjelasan adalah pendidikan akademik dan pendidikan
profesional, pendidikan profesional. Pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa sekolah
tinggi, institut, dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan atau
politeknik dan atau profesional. Pendidikan akademik adalah pendidikan yang
terutama melayani perkembangan sikap,berfikir,dan prilaku ilmiah para mahasiswa
sehingga mereka dapat mengembangkan ilmu , teknologi , dan seni sesuai dengan
budangnya masing-masing.[3][3]
Pendidikan
profesional menekankan pada ablokasi teori-teori yang telah ada. Yang di
pelajari dalam pendidikan ini adalah teori-teori dengan konsep-konsep yang ada
sebagai temuan dari para akademisi dan cara-cara penerapannya di lapangan
secara efektif dan efesien.
Kebebasan
akademik adalah kebebasan yang demiliki oleh anggota civitas akademika, yang
mencakup dosen-dosen dan para mahasiswa. Karena merekalah yang berkecimpung
dalam kegiatan akademik. Dalam hal ini tugas-tugas mereka mencakup;
a. Mempelajari secara
tekun konsep-konsep dan teori-teori.
b. Menganalisis
seluk-beluknya, termasuk asal-usul konsep itu.
c. Mempelajari cara-cara
pengembangannya.
d. Mempelajari metologi
penelitian untuk pengembangan ilmu.
e. Belajar berfikir
analitik-sintetik atau induktif-induktif.
f. Mengoreksi kebenaran
konsep.
g. Mengadakan replikasi.
h. Menginformasikan
hasil-hasil penelitian dan konsep-konsep.
i.
Berdikusi dan berdebat.
j.
Berdiskusi dan berdebat.
k. Mempertahankan konsep
secara ilmiah.
l.
Menulis laporan penelitian,artikel, dan atau baku.
untuk
memperoleh kebenaran ilmiah, yang antar lain berbentuk simpulan, konsep, atau
teori.
Sama
hal nya dengan pendidikan akademik, kebebasan mimbar akademik pun harus di
pertanggung jawabkan pula. Status mereka adalah sistem , walaupun banyak di
antara mereka yang sudah mengajar di depan kelas, terutama pada
perguruan-perguruan tinggi yang yang
masih kurang tenaga pengajarnya.
Kebebasan
mimbar akademik ini dapat di laksanakan dalam kelas terdapat para mahasiswa, di
depan para dosen, atau di depan forum ilmiah yang lebih luas. Tata cara
pelaksanaan pada umumnya sebagai berikut:[4][4]
a. Baru saja menemukan
konsep baru atau hasil penelitian .
b. Konsep atau hasil
penelitian di kemas untuk di komunikasikan.
c. Perlengkapan
berkomunikasi seperti makalah, benda-benda contoh, gambar-gambar, foto, slide,
proyektor, dan sebagainya di siapkan.
d. Pertemuan dimulai
pada umumnya memakai pembawa acara atau modekator, kecuali dalam kelas.
e. Pertemuan di mulai
pada umumnya mengemukakan konsep-konsep barunya atau hasil penelitian, yang
sudah tentu di aitkan pula dengn konsep-konsep yang suah ada yang sejenis.
f. Setelah selesai
berbicara tentang konsep yang baru.
g. Terjadi dialog antara
penemu konsep baru dengan para partisipan.
h. Pertemuan di tutup
oleh pembawa acara.
4. Bebarapa pp tentang
pendidikan dan GBHN 1993
Ada
empat PP atau peraturan pemerintah tentang pendidikan yang akan di bahas dalam
buku ini. Keempat PP itu adalah;
a. Peraturan pemerintah
RI nomor 27 tahun 1990 tentang pendidikan presekolah.
b. Peraturan pemerintah
RI nomor 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar.
c. Peraturan pendidikan
RI nomer 29 tahun 1990 tentang pendidikan menengah.
d. Peraturan pemerintah
RI nomor 30 tahun 1990 tentang pendidikan tinggi.[5][5]
Sudah tentu tidak
semua pasal dan ayat-ayat yang ada dalam PP ini akan di bahas. Hal-hal yang
sudah di bahas dalam undang-undang pendidikan tahun 1989 tetapi tercantum dalam
PP ini tidak akan di bahas lagi.
Pertma-tama yang di
bahas adalah materi yang terkandung dalam PP tentang pendidikan
presekolah. Pasal 2 pada PP itu
berbunyi: pendidikan prasekolah tidak merupakan persyaratan untuk memasuki
pendidikan dasar. Pasal 4 ayat 1 menunjukkan bentuk pendidikan prasekolah
adalah teman kanak-kanak, kelompok bermain, penitipan anak, dan bentuk lain
yang di tetap-kan oleh pemerintah.
Pada pasal 16 ayat 1
antara lain tertulis: siswa mempunyai hak memperoleh pendidikan agama sesuai
agama yang di anutnya .
Pasal yang cukup
penting untuk di ketahui bagi para pengembang ilmu adalah pasal 30 tentang
pengembangan .
Pasal 1 pasal yang
berbunyi: satuan pendidikan dasar dapat melakukan uji coba untuk mengembangkan
gagasan baru yang di perlukan dalam rangkah peningkatkan pendidikan.
Sekolah tiba
giliranya untuk membahas beberapa hal yang terdapat dalam PP tentang pendidikan
menengah, pertama pada pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bentuk pendidikan
menengah adalah:
a. Sekolah menengah
umum.
b. Sekolah menengah
kejuruan.
c. Sekolah menengan
keagama’an.
d. Sekolah menengah
kedinasan.
e. Sekolah menengah luar
biasa.[6][6]
Pasal
kedua yang akan di komentari adalah pasal 15 ayat 5 yang mengatakan: sekolah
menengah dapat menjabarkan dan menambah mata pelajaran sesuai dengan mata
pelajaran sesuai dengan keada’an lingkungan dan cirikhas sekolah menengah yang
bersangkutan dengan tidak mengurangi keilmuan yang berlaku secara nasional.
Pasal
25 ayat 1 berbunyi: gelar doktor kehormatan dapat di berikan kepada seorang
yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudaya’an.
C.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan
menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, bab II pasal 3 bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung
jawab.
Tujuan
pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan pendidikan.
Adalah suatu yang logis bahwa pendidikan itu harus dimulai dengan tujuan, yang
diasumsikan sebagai nilai. Tanpa dasar tujuan, maka dalam praktek pendidikan
tidak ada artinya (Moore, T.W, 1974:86).
Ada
bermacam-macam tujuan pendidikan menurut para ahli. MJ. Langeveld mengemukakan
ada enam macam tujuan pendidikan, yaitu
(1) tujuan
umum, total atau akhir,
(2) tujuan khusus,
(3) tujuan tak
lengkap,
(4) tujuan
sementara,
(5) tujuan
intermedier dan
(6) tujuan
insindental.
Tujuan
pendidikan di Indonesia bisa dibaca pada GBHN, pelbagai peraturan pemerintah
dan undang-undang pendidikan. Pertama-tama mari kita lihat GBHN tahun 1993.
Dalam GBHN itu dijelaskan bahwa kebijaksanaan pembangunan sector pendidikan
ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, keratif, terampil, beridsiplin,
beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, dan sehat
jasmani-rohani. Indicator-indikator tujuan pendidikan di atas dapat
dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
1.
Hubungan dengan
Tuhan, ialah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Pembentukkan
pribadi, mencakup berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju,
tangguh, cerdas, dan kreatif.
3.
Bidang usaha,
mencakup terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab,
dan produktif.
4.
Kesehatan, yang
mencakup kesehatan jasmani dan rohani.
Kini mari kita
kaitkan pandangan para ahli di atas dengan tujuan pendidikan kita. Tujuan
pendidikan di Indonesia seperti telah dibahas sebelunya, ialah untuk membentuk
manusia seutuhnya, dalam arti berkembangnya potensi-potensi individu secara
harmonis, berimbang dan terintegrasi. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan
baik, sudah tentu harapan-harapan para ahli yang dilukiskan di atas bisa
tercapai. Sebab tujuan pendidikan ini pun mengembangkan potensi-potensi
individu seperti apa adanya.kalaupun ada kebijakan tertentu yang agak berbeda
arah dengan tujuan ini dengan maksud-maksud tertentu, diharapkan kebijakan itu
tidak terlalu lama dipertahankan. Dengan demikian secara konsep atau dokumen
tujuan pendidikan Indonesia tidak berbeda secara berarti dengan tujuan-tujuan
pendidikan yang diinginkan oleh para ahli pendidikan di dunia.
Oleh karena itu mencapai tujuan
pendidikan, dibutuhkan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi. Apa dan bagaimana
kompetensi ini, akan dijelaskan pada bagian berikutnya
D.
Arti Pendidikan
Pendidikan
sebagai gejala universal, merupakan suatu keharusan bagi manusia , karena
selain pendidikan sebagai gejala, juga sebagai upaya memanusiakan manusia.
Berikut ini akan dikemukakam beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli :
Menurut Rusli
Lutan (1994) mengemukakan bahwa “pendidikan pada hakekatnya tetap sebagai
proses membangkitkan kekuatan dan harga diri dari rasa ketidakmampuan,
ketidakberdayaan, keserbakekurangan”.
Djuju Sudjana
(1996:31) tentang modal itu dalam dirinya sendiri yang tersirat dalam “human
capital theory”, bahwa manusia merupakan sumber daya utama, berperan sebagai
subyek baik dalam upaya meningkatkan tarap hidup dirinya maupun dalam
melestarikan dan memanfaatkan lingkungannya. Menurut teori-teori ini konsep
pendidikan harus dirasakan atas anggapan bahwa modal yang dimiliki manusia itu
sendiri meliputi : sikap, pengetahuan, keterampilan dan aspirasi. Dengan
perkataan, “modal utama bagi kemajuan manusia tidak berada di luar dirinya
melainkan ada dalam dirinya, dan modal itu sendiri adalah pendidikan.
Menurut George
F. Knelled Ledi dalam bukunya yang berjudul Of Education (1967:63),
pendidikan dapat dipandang dalam arti teknis, atau dalam arti hasil dan arti
proses. Dalam artinya yang luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau
pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau
perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical
Ability) individu, pendidikan dalam arti ini berlangsung terus menerus (seumur
hidup) kita sesungguhnya dan pengalaman seluruh kehidupan kita (George F.
Knelled, 1967:63) dan pendidikan, Demands A. kualitative concept of experience
(Frederick Mayyer, 1963:3-5).
Selanjutnya menurut
UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk emmiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dirinya,
keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Jadi dapat
disimpulkan, pendidikan adalah proses sepanjang hayat dan perwujudan
pembentukan diri secara utuh dalam pengembangan segenap potensi dalam rangka
pemenuhan semua komitmen manusia sebagai individu, makhluk sosial dan sebagai
makhluk Tuhan. Dalam pendidikan, secara implicit terjalin hubungan antara dua
pihak, yaitu pihak pendidik dan pihak peserta didik yang di dalam hubungan itu
berlainan kedudukan dan peranan setiap pihak, akan tetapi sama dalam hal
dayanya yaitu salling mempengaruhi guna terlaksananya proses pendidikan
(transformasi pendidikan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan yang tertuju
kepada tujuan-tujuan yang diinginkan.
E. Arti Mendidik
Kalau mendidik
diartikan sebagai memberi nasihat, petujnjuk, mendorong agar rajin belajar,
memberi motivasi, menjelaskan sesuatu atau ceramah, melarang prilaku yang tidak
baik, menganjurkan dan menguatkan perilaku yang baik, dan menilai apa yang
telah dipelajari anak, itu bisa dilakukan oleh semua orang. Dan tidak perlu
susah-susah membuat pendidik menjadi profesional. Tetapi mendidik seperti ini
apakah dapat menjamin anak-anak akan berkembang sempurna secara batiniah dan
lahiriah?
Mendidik adalah
membuatkan kesempatan dan menciptakan situasi yang kondusif agar anak-anak
sebagai subjek berkembang sendiri. Mendidik adalah suatu upaya membuat
anak-anak mau dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan
bakat, pribadi, dan potensi-potensi lainnya secara optimal. Berarti mendidik
memusatkan diri pada upaya pengembangan afeksi anak-anak, sesudah itu barulah
pada pengembangan kognisi dan keterampilannya. Berkembangnya afeksi positif
terhadap belajar, merupakan kunci keberhasilan belajar berikutnya, termasuk
keberhasilan dalam meraih prestasi kognisi dan keterampilan. Bila afeksi anak
sudah berkembang secara positif terhadap belajar, maka guru, dosen, orang tua,
maupun anggota masyarakat tidak perlu bersusah-susah membina mereka agar rajin
belajar. Apapun yang terjadi mereka akan belajar terus untuk mencapai
cita-cita. Inilah pengertian yang benar tentang mendidik. Melakukan pekerjaan
mendidik seperti ini tidaklah gampang. Hanya orang-orang yang sudah belajar
banyak tentang pendidikan dan sudah terlatih mampu melaksanakannya.
Sesudah paham
akan makna kata mendidik, lalu dikembangkan criteria keberhasilan mendidik.
Keberhasilan itu tidak ditentukan olah prestasi akademik peserta didik.
Prestasi akademik otomatis akan muncul manakala pendidikan berhasil. Lagipula
prestasi seperti itu akan benar-benar mencerminkan prestasi akademik mereka
masing-masing secara obyektif bukan karena mencontek atau cara-cara yang tidak
sah lainnya, sebab para peserta didik telah memiliki budaya belajar yang
positif. Kriteria keberhasilan mendidik tersebut adalah :
1.
Memiliki sikap
suka belajar.
2.
Tahu tentang
cara belajar.
3.
Memiliki rasa
percaya diri.
4.
Mencintai
prestasi tinggi.
5.
Memiliki etos
kerja.
6.
Produktif dan
kreatif.
7.
Puas akan
sukses yang dicapai.
Hal lain yang
perlu diperkenalkan kepada calon guru untuk dipelajari, dipahami, dilatih, dan
dilaksanakan setelah bertugas di lapangan adalah sejumlah perilaku pendidik
dalam proses pendidikan yang bisa dipilih salah satu atau beberapa diantaranya
yang cocok dengan tujuan pendidikan setiap kali tatap muka. Perilaku-perilaku
pendidik yang dimaksud adalah :
1.
Pendidik
bertindak sebagai mitra atau saudara tua peserta didik.
2.
Melaksanakan
disiplin yang permisif, ialah memberi kebebasan bertindak asal semua peserta
didik aktif belajar.
3.
Member
kebebasan kepada semua peserta didik untuk mengaktualisasi potensi mereka
masing-masing.
4.
Mengembangkan
cita-cita riil para peserta didik atas dasar pemahaman mereka tentang diri
sendiri.
5.
Melayani
pengembangan bakat setiap peserta didik.
6.
Melakukan
dialog atau bertukar pikiran secara kritis dengan peserta didik.
7.
Menghargai
agama dalam dunia modern yang penuh dengan rasionalitas. Hal-hal di luar rasio
manusia dibahas lewat agama.
8.
Melakukan
dialektika nilai budaya lama dengan nilai-nilai budaya modern.
9.
Mempelajari dan
ikut memecahkan masalah masyarakat, yang mencakup ekonomi, sosial, budaya, dan
geografis, termasuk aplikasi filsafat pancasila.
10.
Mengantisipasi
perubahan lingkungan dan masyarakat pendidik atau bekerja sama dengan para
peserta didik.
11.
Member
kesempatan kepada para peserta didik untuk berkreasi.
12.
Mempergunakan
metode penemuan.
13.
Mempergunakan
metode pemecahan masalah.
14.
Mempergunakan
metode pembuktian.
15.
Melaksanakan
metode eksperimentasi.
16.
Melaksanakan
metode berproduksi barang-barang nyata yang mungkin bisa dipasarkan.
17.
Memperhatikan
dan membina perilaku nyata agar positif pada setiap peserta didik.
F.
Dampak konsep pendidikan
Sesudah membahas
landasan hukum dalam pendidikan yang di jabarkan dari pasal-pasal UUD 1945, UU
pendidikan nasional, beberapa PP tentang pendidikan, dan uraian dalam GBHN
1993, maka sebagian dari dampaknya dalam pengembangan konsep pendidikan adalah
seperti uraian berikut:
1. Ada beberada’an yang
jelas antara pendidikan akademik dengan pendidikan profesional.
2. Pendidikan
profesional tidak cukup hanya menyiapkan ahli dalam menerapkan suatu teori .
3. Sebagai konsekuensi
dari beragamnya bakat dan kemampuan para siswa serta di butuhkannya tenaga
kerja menengah yang banyak, maka perlu di ciptakan sebagai ragam sekolah
kejuruan.[7][7]
G. Arti kompetensi dan dimensi-dimensi kompotensi guru
Syah (2000:229)
mengemukakan pengerian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Usman
(1994:1) mengemukakan kompetensi berarti suatu hal yang menggambarkn kualifikasi
atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. McAhsan
(1981:45), sebagaiman dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengemukakan bahwa
kompetensi :”is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a
person achieves, wich become part office or her being to the extent he or she
can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor
behaviours”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi
bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif,
afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu, Finch dan
Crunkilton (1972:222) sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengartikan kompetensi
sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi
yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Sofo (1999:123) mengemukakan “A
competency is a composed of skill, knowledge, ans attitude, but in particular
the consistent applications of those skill, knoeledge, and attitude to the
standard of performance required in employment “. Dengan kata lain kompetensi
tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting
adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan dan sikap ynag diperlukan
tersebut dalam pekerjaan. Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ablity
, yaitu kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam
suatu pekerjaan. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk
oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dean kemampuan fisik.
Kemampuan inteletual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan
mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan
keterampilan. Spencer & spencer (1993:9) mengatakan “ competency iws
underlying caharacteristicof an individual that is causally related ti
criterion-reference effective and/or superior performance in a job or
situation”. Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang
berkaitan dengan kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu
pekerjaan dan situasi tertentu. Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan,
kompetensi dikatakan Underlying characteristic karena karakteristik
merupakan bagian yang mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang dan dapat
memprediksi berbagai situasi dan jenis pekerjaan. Dikatakan causally
related, karena kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja.
Dikatakan criterion-referenced, karena kompetensi itu benar-benar
memprediksi siapa-siapa saja yang kinerjanya baik atau buruk, berdasarkan
criteria atau standar tertentu. Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi
adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki
seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam
bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukkan sebagai kemahiran,
ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan
sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan,
teknologi maupun etika. Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi
sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan
dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut Syah (2000:230), “kompetensi”
adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut
ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi
guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya
secara bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat
diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi
keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru yang piawai dalam
melaksanakan profesinya. Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat
didefinisikan sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan
sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam
menjalankan profesi sebagai guru.
Majid (2005:6)
menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas
guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan
pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Diyakini
Robotham (1996:27), kompetensi yang diperlukan seseorang tersebut dapat
diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman.
F.
Dimensi-dimensi
Kompetensi Guru
Menurut UU No.
14 tahun 2005 tentang guru dan dosen paal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi
kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Akan tetapi
pada makalah ini akan dibahas dua kompetensi guru saja, yaitu kompetensi
pedagogic dan kompetensi kepribadian.
1. Kompetensi Pedagogik
Dalam UU No. 14
tahun 2005 tentang guru dan dosen dikemukakan kompetensi pedagogic adalah
“kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut
kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran”. Kompetensi ini
dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan
melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan
melakukan penilaian. Kompetensi menyusun rencana pembelajaran menurut
Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program belajar mengajar mencakup
kemampuan :
(1)
merencanakan pengorganisasian bahan-bahan pengajaran,
(2)
merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar,
(3)
merencanakan pengelolaan kelas,
(4)
merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran, dan
(5)
merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.
Menurut Dwi
Siswoyo, kompetensi Pedagogik bukanlah kompetensi
yang hanya
bersifat teknis belaka, yaitu “kompetensi mengelola peserta
didik..” (yang dirumuskan dalam PP RI
No. 19 tahun 2005), karena
“pedagogy” or
“paedagogy” adalah “the art and science of teaching and
educating”(Dwi
Siswoyo:2006).
Depdiknas
(2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana pembelajaran meliputi; (1)
mampu mendeskripsikan tujuan, (2) mampu memilih materi, (3) mampu mengorganisir
materi, (4) mampu menentukan matode/strategi pembelajaran, (5) mampu menentukan
sumber belajar/media/alat peraga pembelajaran, (6) mampu menyusun perangkat
penilaian, (7) mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu mengalokasikan
waktu. Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program belajar mengajar
merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama
pembelajaran berlangsung, yang mencakup : merumuskan tujuan, menguraikan
deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai
media dan sumber belajar, dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan.
Kompetensi pedagogic ini mencakup pemahaman dan pengembangan potensi peserta
didik, perencanan dan pelaksanaan pembelajaran, serta system evaluasi
pembelajaran, juga harus menguasai “ilmu pendidikan”. Kompetensi ini diukur
dengan performance test atau episodes terstruktur dalam praktek pengalaman
lapangan (PPL), dan tase based test yang dilakukan secara tertulis.
Kemampuan
mengelola pembelajaran, meliputi :
a.
Pemahaman
peserta didik
b.
Perancangan,
pelaksanaan dan evaluasi hasil belajar
c.
Pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi Kepribadian
Guru sebagai
tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik
kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber
daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan
yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil
sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan
“ditiru” (dicontoh sikap dan perilakunya). Kepribadian guru merupakan faktor
terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah
Darajat dalam Syah (2000:225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan
menetukan apakah ia menjadi pendidika dan Pembina yang baik bagi anak didiknya,
ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya
terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang
sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian
yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah
meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas
kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti
dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang
fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan
beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap
ketertutupan ranah cipta yang premature dalam pengamatan dan pengenalan. Dalam
UU guru dan dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi
teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini
sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang
diperlukan agar dapat menjadi seorang guru yang baik. Kompetensi personal ini
mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan
diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127)
merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan
kompetensi pribadi meliputi : (1) pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial
maupun agama, (2) pengetahuan tentang budaya dan tradisi, (3) pengetahuan
tentang inti demokrasi, (4) pengetahuan tentang estetika, (5) memiliki apresiasi
dan kesadaran sosial, (6) memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan
pekerjaan, (7) setia terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan kompetensi
guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka, berwibawa,
bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi. Jhonson sebagaimana dikutip
Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan
sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap
keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman,
penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang
guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk
menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Arikunto (1993:239)
mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang
mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut
diteladani oleh siswa. Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru
tercermin dari indicator (1) sikap dan (2) keteladanan.
a.
Upaya
mengoptimalkan kualitas guru dengan mengoptimalkan kompetensi Pedagogik dan
kompetensi Kepribadian
1.
Melaksanakan proses belajar mengajar
Melaksanakan
proses belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah disusun.
Dalam kegiatan ini kemampuan yang dituntut adalah kreatif guru menciptakan dan
menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah
kegiatan belajar mengajr dicukupkan, apakah metodenya diubah, apakah kegiatan
yang lalu perlu diulang, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran. Pada tahap ini disamping penentuan teori belajar mengajar,
pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknik
belajar, misalnya : prinsip-prinsip belajar, penggunaan alat bantu pengajar,
penggunaan metode belajar, dan keterampilan menilai hasil belajar siswa.
Yutmini (1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus dimiliki guru
dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kemampuan : (1) menggunakan
metode belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan
pelajaran, (2) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan
pengajaran, (3) berkomunikasi dengan siswa, (4) mendemonstrasikan berbagai
metode belajar, dan (5) melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar. Hal
serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang menyatakan, kemampuan yang harus
dimiliki guru dalam melaksanakan program mengajar adalah mencakup kemampuan :
(1) memotivasi siswa belajar sejak saat membuka sampai menutup pelajaran, (2)
mengarahkan tujuan pengajaran, (3) menyajikan bahan pelajaran dengan metode
yang relevan dengan tujuan pengajaran, (4) melakukan pemantapan belajar, (5)
menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik dan benar, (6) melaksanakan
layanan bimbingan penyuluhan, (7) memperbaiki program belajar mengajar, dan (8)
melaksanakan hasil penelitian belajar dalam pelaksnaan proses belajar.
2.
Melaksanakan
penilaian proses belajar mengajar
Menurut Sutisna
(1993:212), penelitian proses belajar mengajar dilaksanakan untuk mengetahui
keberhasilan perencanaan kegiatan belajar mengajar yang telah disusun dan
dilaksnakan. Penelitian diarikan sebagai proses yang menentukan betapa baik
organisasi program atau kegiatan yang dilaksanakan utnuk mencapai maksud-maksud
yang telah ditetapkan. Commite dalam Wirawan (2002:22) menjelaskan,
evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia,
evaluasi yang baik akan menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan
sedangkan evaluasi yang salah akan merugikan pendidikan. Tujuan utama
melaksanakan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan
informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh
siswa, sehingga tindak lanjut hasil belajar akan dapat diupayakan dan
dilaksanakan. Dengan demikian, melaksanakan penelitian proses belajar mengajar
merupakan bagian tugas guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran
berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil belajar
siswa. Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penilaian belajar peserta
didik, meliputi
(1) mampu
memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran,
(2) mampu
memilih soal berdasarkan tingkat pembedaan,
(3) mampu memperbaiki soal yang tidak valid,
(4) mampu memeriksa jawab,
(5) mampu
mengklasifikasi hal-hal penilaian,
(6) mampu
mengolah dan menganalisis hasil penilaian,
(7) mampu
membuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian,
(8) mampu
menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian,
(9) mampu
mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian,
(10) mampu
menyimpulkan dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11) mampu menyusun
program tindak lanjut hasil penilaian,
(12)
mengklasifikasi kemampuan siswa,
(13) mampu
mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampu
melaksanakan tindak lanjut,
(15) mampu
mengevaluasi hasil tindak lanjut, dan
(16) mampu
menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut
penilaian. Berdasarkan uraian di atas
kompetensi Pedagogik
tercermin dari indicator
(1) kemampuan
merencanakan program belajar mengajar,
(2) kemampuan
melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar
mengajar, dan
(3) kemampuan
melakukan penilaian.
G. Peran Pendidikan dalam Mengatasi Moralitas
Saat ini manusia Indonesia mengalami pergeseran dalam aspek moralitas. Di era globalisasi dan reformasi seperti sekarang ini kita semua dapat merasakan bersama, bahwa kebebasan berpendapat dan berperilaku sudah sedemikan maraknya, karena terlalu bebas serta fulgarnya dalam tampilan dan pemberitaan itu, sampai-sampai banyak kalangan pemuda yang tidak memperhatikan lagi moralitas, sopan santun, etika dan budi pekerti sebagaimana adat ketimuran yang kita agungkan itu. Media elektronik berupa televisi, maupun media cetak yang kita saksikan dan kita baca tiap hari, baik yang menampilkan kritikan kontruktif maupun pertunjukan hiburan yang mengumbar kemaksiatan sudah sedemikian marak dan bebasnya di masyarakat. Hal ini secara langsung akan dapat mempengaruhi moral dan tingkah laku para pemirsa atau pembaca, lebih-lebih para remaja yang belum memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat.
Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan penting dalam mengatasi persoalan moralitas yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis berusaha untuk mengungkap bagaimana peran pendidikan dalam persoalan moralitas.
Saat ini manusia Indonesia mengalami pergeseran dalam aspek moralitas. Di era globalisasi dan reformasi seperti sekarang ini kita semua dapat merasakan bersama, bahwa kebebasan berpendapat dan berperilaku sudah sedemikan maraknya, karena terlalu bebas serta fulgarnya dalam tampilan dan pemberitaan itu, sampai-sampai banyak kalangan pemuda yang tidak memperhatikan lagi moralitas, sopan santun, etika dan budi pekerti sebagaimana adat ketimuran yang kita agungkan itu. Media elektronik berupa televisi, maupun media cetak yang kita saksikan dan kita baca tiap hari, baik yang menampilkan kritikan kontruktif maupun pertunjukan hiburan yang mengumbar kemaksiatan sudah sedemikian marak dan bebasnya di masyarakat. Hal ini secara langsung akan dapat mempengaruhi moral dan tingkah laku para pemirsa atau pembaca, lebih-lebih para remaja yang belum memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat.
Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan penting dalam mengatasi persoalan moralitas yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis berusaha untuk mengungkap bagaimana peran pendidikan dalam persoalan moralitas.
1. Pengertian Moralitas
Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Pengertian moral juga memiliki kesetaraan atau kesamaan arti dengan pengertian akhlak, budi pekerti, dan susila.
Moral sebenarnya memuat dua segi berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang mempunyai sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan yang baik pula. Dengan kata lain, moral hanya dapat diukir secara tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara tepat apabila hati maupun perbuatannya ditinjau bersama.
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut. Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya, kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya.
Pergeseran itu terjadi pada pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat.
Pergeseran moralitas masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Sedikit mengingat cerita Socrates, ia pernah prihatin dan menangis pada penemuan kemajuan ilmu pengetahuan. Kekhawatiran filosof Yunani itu yang mengandung keprihatinan bahkan ketakutan mendalam bagi penguasa Yunani ketika itu. Kemudian Socrates mencoba memasukkan ajaran moral ke dalam sendi-sendi kekuatan dan politik. Kemampuan intutitif dan kognitif, Socrates memberi argumen kepada rakyat sehingga mematahkan “puisi-puisi” penguasa tentang pentingnya moral dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan moral sangatlah perlu bagi manusia, karena melalui pendidikan perkembangan moral diharapkan mampu berjalan dengan baik, serasi dan sesuai dengan norma demi harkat dan martabat manusia itu sendiri. Di Indonesia pendidikan moral telah ada dalam setiap jenjang pendidikan. Di Sekolah Dasar perkembangan pendidikan moral tak pernah beranjak dari nilai-nilai luhur yang ada dalam tatanan moral bangsa Indonesia yang termaktub jelas dalam Pancasila sebagai dasar negara. Pendidikan Moral Pancasila, yang sejak dari pendidikan dasar telah diajarkan tentu memiliki tujuan yang sangat mulia, tiada lain untuk membentuk anak negeri sebagai individu yang beragama, memiliki rasa kemanusiaan, tenggang rasa demi persatuan, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah untuk kerakyatan serta berkeadilan hakiki. Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya terdapat tiga faktor penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan dan perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri.
2. Nilai-nilai (moral) Pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral manusia maka perlu di ketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik. Hal ini penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua nilai-nilai moral yang terkandung dalam penididkan moral tersebut memiliki batasan-batasan tertentu untuk dapat terpatri pada kesadaran moral peserta didik. Dengan kata lain, kalaulah pancasila memiliki 36 butir nilai moral, maka harus difahami pula proses pemahaman peserta didik berdasar pada tingkat kesadaran dan tingkat kekuatan nilai kesadaran itu sendiri.
3. Guru sebagai fasilitator, apabila kita kembali mengingat teori perkembangan moral manusia dari Kohlberg dengan 4 dalilnya maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai pendidikan moral itu.
Dengan memperhatikan tiga hal diatas maka proses perkembangan moral manusia yang berjalan dalam jalur pendidikan tentu akan berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan moral pada tiap diri manusia.
Pendidik, sebagai bagian dari pendidikan hendaknya harus berperan dalam melaksanakan pendidikan budi pekerti (moral), yaitu dengan cara:
a. Seorang pendidik harus menjadi model sekaligus menjadi mentor dari peserta didik dalam mewujudkan nilai moral pada kehidupan di sekolah. Tanpa guru sebagai model, sulit untuk diwujudkan suatu pranata sosial (sekolah) yang dapat mewujudkan nilai-nilai kebudayaan.
b. Masyarakat sekolah haruslah merupakan masyarakat bermoral. Sekolah dan kampus bukan sekedar untuk meningkatkan kemampuan intelektual, tetapi juga untuk memupuk kejujuran, kebenaran, dan pengabdian kepada kemanusiaan.
c. Mempraktikkan disiplin moral. Pelaksanaan moral yang tidak disiplin
Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Pengertian moral juga memiliki kesetaraan atau kesamaan arti dengan pengertian akhlak, budi pekerti, dan susila.
Moral sebenarnya memuat dua segi berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang mempunyai sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan yang baik pula. Dengan kata lain, moral hanya dapat diukir secara tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara tepat apabila hati maupun perbuatannya ditinjau bersama.
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh sukarela pihak pelaku. Lepas dari segala keadaan khusus si pelaku yang dapat mempengaruhi atau mengurangi penguasaan diri dan bertanya apakah orang yang sepenuhnya menguasai dirinya diizinkan dengan sukarela menghendaki perbuatan tersebut. Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku individu. Selain itu juga dipengaruhi, dikondisikan oleh latar belakangnya, pendidikannya, kemantapan emosinya, dan sifat-sifat pribadi lainnya.
Pergeseran itu terjadi pada pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat.
Pergeseran moralitas masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Sedikit mengingat cerita Socrates, ia pernah prihatin dan menangis pada penemuan kemajuan ilmu pengetahuan. Kekhawatiran filosof Yunani itu yang mengandung keprihatinan bahkan ketakutan mendalam bagi penguasa Yunani ketika itu. Kemudian Socrates mencoba memasukkan ajaran moral ke dalam sendi-sendi kekuatan dan politik. Kemampuan intutitif dan kognitif, Socrates memberi argumen kepada rakyat sehingga mematahkan “puisi-puisi” penguasa tentang pentingnya moral dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan moral sangatlah perlu bagi manusia, karena melalui pendidikan perkembangan moral diharapkan mampu berjalan dengan baik, serasi dan sesuai dengan norma demi harkat dan martabat manusia itu sendiri. Di Indonesia pendidikan moral telah ada dalam setiap jenjang pendidikan. Di Sekolah Dasar perkembangan pendidikan moral tak pernah beranjak dari nilai-nilai luhur yang ada dalam tatanan moral bangsa Indonesia yang termaktub jelas dalam Pancasila sebagai dasar negara. Pendidikan Moral Pancasila, yang sejak dari pendidikan dasar telah diajarkan tentu memiliki tujuan yang sangat mulia, tiada lain untuk membentuk anak negeri sebagai individu yang beragama, memiliki rasa kemanusiaan, tenggang rasa demi persatuan, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah untuk kerakyatan serta berkeadilan hakiki. Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya terdapat tiga faktor penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang perlu diperhatikan yaitu :
1. Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan dan perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri.
2. Nilai-nilai (moral) Pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral manusia maka perlu di ketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik. Hal ini penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua nilai-nilai moral yang terkandung dalam penididkan moral tersebut memiliki batasan-batasan tertentu untuk dapat terpatri pada kesadaran moral peserta didik. Dengan kata lain, kalaulah pancasila memiliki 36 butir nilai moral, maka harus difahami pula proses pemahaman peserta didik berdasar pada tingkat kesadaran dan tingkat kekuatan nilai kesadaran itu sendiri.
3. Guru sebagai fasilitator, apabila kita kembali mengingat teori perkembangan moral manusia dari Kohlberg dengan 4 dalilnya maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai pendidikan moral itu.
Dengan memperhatikan tiga hal diatas maka proses perkembangan moral manusia yang berjalan dalam jalur pendidikan tentu akan berjalan sesuai dengan tahapan perkembangan moral pada tiap diri manusia.
Pendidik, sebagai bagian dari pendidikan hendaknya harus berperan dalam melaksanakan pendidikan budi pekerti (moral), yaitu dengan cara:
a. Seorang pendidik harus menjadi model sekaligus menjadi mentor dari peserta didik dalam mewujudkan nilai moral pada kehidupan di sekolah. Tanpa guru sebagai model, sulit untuk diwujudkan suatu pranata sosial (sekolah) yang dapat mewujudkan nilai-nilai kebudayaan.
b. Masyarakat sekolah haruslah merupakan masyarakat bermoral. Sekolah dan kampus bukan sekedar untuk meningkatkan kemampuan intelektual, tetapi juga untuk memupuk kejujuran, kebenaran, dan pengabdian kepada kemanusiaan.
c. Mempraktikkan disiplin moral. Pelaksanaan moral yang tidak disiplin
sama artinya tidak bermoral. Moralitas menuntut keseluruhan dari
hidup seseorang karena dia
melaksanakan apa yang baik dan menolak
yang batil.
d. Menciptakan situasi demokratis di ruang kelas agar pelaksanaan
d. Menciptakan situasi demokratis di ruang kelas agar pelaksanaan
kehidupan bermoral dapat terwujud.
e. Mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum. Nilai-nilai moral bukan
e. Mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum. Nilai-nilai moral bukan
1. hanya disampaikan melalui mata
pelajaran yang khusus, tetapi juga terkandung dalam semua program kurikulum.
Adapun peranan pendidikan (edukasi) dalam mengatasi persoalan moral adalah:
Adapun peranan pendidikan (edukasi) dalam mengatasi persoalan moral adalah:
2. Menjaga generasi sejak masa kecil
dari berbagai penyelewengan ala jahiliah. Mengembangkan pola hidup, perasaan
dan pemikiran mereka sesuai dengan fitrah, agar mereka menjadi fondasi yang
kukuh dan sempurna di masyarakat.
3. Karena pendidikan berjalan seiring
dengan perkembangan anak-anak, maka pendidikan akan sangat memengaruhi jiwa dan
perkembangan anak serta akan menjadi bagian dari kepribadiannya untuk kehidupannya
kelak kemudian hari
4. Pendidikan sebagai alat terpenting
untuk menjaga diri dan memelihara nilai-nilai positif. Pendidikan mengemban dua
tugas utama yang saling kontradiktif, yaitu melestarikan dan mengadakan
perubahan.
Pendekatan dan Strategi Pendidikan
Moral
Menurut draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan untuk menerapkan pendidikan budi pekerti dan moral, yaitu:
Menurut draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan untuk menerapkan pendidikan budi pekerti dan moral, yaitu:
1.
Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach)
Pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya. Cara yang digunakan pada pendekatan ini adalah antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, dan bermain peran.
Pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya. Cara yang digunakan pada pendekatan ini adalah antara lain keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, dan bermain peran.
2. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif ( Cognitive Moral Development Approah)
Pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Guru dapat mengarahkan anak dalam menerapkan proses pemikiran moral melalui diskusi masalah moral sehingga peserta didik dapat membuat keputusan tentang pendapat moralnya.
3. Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Pendekatan ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan kemampuan berfikir logis dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini adalah diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat, dan penelitian.
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai (Valuse Clarification Approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Cara yang dapat digunakan adalah bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktifitas yang mengembangkan sensivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok.
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Cara yang dapat digunakan adalah metode proyek/kegiatan di sekolah, hubungan antarpribadi, praktik hidup bermasyarakat dan berorganisasi.
Adapun strategi yang dapat digunakan dalam pendidikan budi pekerti atau moral, adalah:
1. Pendidikan budi pekerti (moral) sebagai substansi dan praksis pendidikan di lingkungan persekolahan, terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran yang relevan dan iklim sosial budaya sekolah.
2. Pengorganisasian pendidikan budi pekerti dalam kurikulum dunia persekolahan dapat dilakukan melalui beberapa alternatif, yaitu:
• Mulai dari TK sampai SMA diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang relevan, atau
• Di TK diintegrasikan ke bidang yang relevan, di SD diintegrasikan ke dalam pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, serta pendidikan bahasa Indonesia/daerah
• Di SMP dan SMA diintegrasikan ke dalam mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan IPS, pendidikan bahasa Indonesia/daerah, dan mata pelajaran lain yang relevan.
3. Keterlibatan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan, khususnya guru, kepala sekolah, administrator pendidikan, pengembang kurikulum, penulis buku teks dan lembaga pendidikan tenaga keguruan sesuai dengan kedudukan, peran, dan tanggungjawabnya.
BAB III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Negara republik indonesia mempunyai
berbagai peraturan perundang-undangan yang bertingkat, mulai dengan undang-undang
dasar 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, ketetapan, samapai dengan
surat keputusan , semuanya mengandung hukum yang tertinggi. Sementara itu
peraturan perundang-undang dasar 1945.
1. Pendidikan merupakan proses
interaksi manusiawi yang ditandai oleh keseimbangan anatara kedaulatan subyek
didik dengan kewibawaan pendidik.
2. Pendidikan merupakan usaha penyiapan
subyek didik menghadapi lingkungan hidup yang engalami perubahan semakin pesat.
3. Pendidikan mengandung tujuan
tertentu, yaitu meingkatkan kualitas kehidupan pribadi masyarakat.
4. Pendidikan berlangsung seumur hidup
5. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendidikan melakukan usaha yang sengaja dan terencana dengan memilih materi,
strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai.
6.
Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya. Kegiatan
tersebut dapat dilakukan baik di sekolah maupun di luar sekolah yaitu
dikeluarga dan masyarakat
Kualitas sumber
daya manusia sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Dengan demikian, bidang/dunia
pendidikan adalah bidang menjadi tulang punggung pelaksanaan pembangunan
nasional. Tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia adalah membentuk manusia
seutuhnya yang pancasilais, dimotori oleh pembangunan afeksi. Tujuan khusus ini
hanya bisa ditangani dengan ilmu pendidikan bercorak Indonesia sesuai dengan
kondisi Indonesia, dan dengan penyelenggaraan pendidikan yang memakai konsep
system.
System
pendidikan di Indonesia diselenggarakan dengan mengandalkan empat kompetensi
yang harus dikuasai/dimiliki oleh tenaga pengajar. Empat kompetensi itu adalah
kompetensi profesional, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi pedagogic. Oleh sebab itu, keempat kompetensi ini merupakan hal yang
paling utama untuk dikuasai oleh tenaga pengajar demi mencapai tujuan
pendidikan di Indonesia.
Dari sudut pandang manusia,
pendidikan aialah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu
pengetahuan dan ketrampilan dalam kehidupan. Sebagaimana dikutip oleh Khoiron
Rosyadi, Emile Durkheim dalam karyanya Education and Sociology mengatakan bahwa
pendidikan merupakan produk manusia yang menetapkan kelanggengan kehidupan
manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan
masa depan.
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Adapun peranan pendidikan (edukasi) dalam mengatasi persoalan moral adalah:
a. Menjaga generasi sejak masa kecil dari berbagai penyelewengan ala
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Adapun peranan pendidikan (edukasi) dalam mengatasi persoalan moral adalah:
a. Menjaga generasi sejak masa kecil dari berbagai penyelewengan ala
jahiliah. Mengembangkan pola hidup, perasaan dan pemikiran mereka
sesuai dengan fitrah, agar mereka
menjadi fondasi yang kukuh dan
sempurna di masyarakat.
b. Karena pendidikan berjalan seiring dengan perkembangan anak-anak,
b. Karena pendidikan berjalan seiring dengan perkembangan anak-anak,
maka pendidikan akan sangat
memengaruhi jiwa dan perkembangan
anak serta akan menjadi bagian dari
kepribadiannya untuk kehidupannya
kelak kemudian hari
c. Pendidikan sebagai alat terpenting untuk menjaga diri dan memelihara
c. Pendidikan sebagai alat terpenting untuk menjaga diri dan memelihara
nilai-nilai positif. Pendidikan
mengemban dua tugas utama yang saling
kontradiktif, yaitu melestarikan dan mengadakan perubahan.
Pendekatan yang digunakan adalah:
1. Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach)
2. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif ( Cognitive Moral Development Approah)
3. Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai (Valuse Clarification Approach)
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan yang digunakan adalah:
1. Pendekatan Penanaman Nilai (Inculcation Approach)
2. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif ( Cognitive Moral Development Approah)
3. Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai (Valuse Clarification Approach)
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
DAFTAR PUSTAKA
Siswoyo, Dwi,
dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. UNY Press. Yogyakarta
UU Sikdiknas.
2006. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
UU Sisdiknas
No. 20 Tahun 2003.
UU Guru dan
Dosen. 2005. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Peraturan
Menteri Nomor 18 Tahun 2007, tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan
Peraturan
Menteri Nomor 11 Tahun 2005, tentang Buku Teks Pelajaran
Pidarta, Dr.
Made. 2000. Landasan Kependidikan. Rineka Cipta. Jakarta
Peraturan
Menteri No
Mode pidarto, dkk.1991. usaha
menemukan konsep-konsep baru tentang ilmu pendidikan, ( HASIL PENELITIAN).
Pusat penelitian IKIP surabaya, surabaya
0 komentar:
Posting Komentar